15:36 wib
bedroom
Hampir sepuluh hari setelah dia pergi. Ramadhan pamit terlalu cepat. Walaupun sebenarnya tidak, hanya aku yang kehilangan. Aku yang tak menyambutnya hangat, hanya senyum di luar, terlalu lelah di dalam. Lalu pura-pura senang. Padahal tak peduli luar dalam.
Ikut beramai bilang Selamat Datang Ramadhan, Marhaban ya Seribu bulan. Tapi tetap saja tak sanggup menyambut dengan senang. Setengah hati.
Tarawih tak pernah semangat pergi ke masjid. Jarang shalat berjamaah shubuh di masjid. Lalu baca qur'an? Setengah-setengah kejar target. Bukan tafsirnya. Bukan pengertian dari tiap-tiap ayat yang terbaca. Hanya lewat. Sudah? Lalu selesai.
Belakangan aku ragu, takut hanya dapat deritanya saja. Hanya haus dan laparnya. Harusnya rebutan pahala berlimpah yang disebar tak tau arah kemanaaa sajaa. Pahalanya ada di mana saja loh! Tapi kok ya akunya yang tak peduli. Ramadhan akhirnya pergi. Meninggalkan aku yang terdiam sepi. Baru takut kehilangan.
Ini mungkin yang dibilang orang Shalat terus Maksiat jalan?
Jadi aku salah jalan?
Pura-pura menyambut dengan senyum, oh Ramadhan datang. Seribu bulan tiba. Bersorak takbir di muka. Padahal mungkin dalam hati malas dan merasa berat dengan hadirnya. Dengan datangnya kewajiban menahan semua-muanya. Semuanya yang salah dan tak benar. Belajar menahan nafsu yang sulit sekali dikekang. Selalu merajuk keluar.
Seakan sedih dengan kepergiannya, atau jangan-jangan sebenarnya senang? Hanya takut mengakui. Kalau-kalau hati ini masih kotor. Masih penuh dosa yang mulai berkarat.
Allah, maukan ampuni aku?
Malu sebenarnya terus begini. Tiap tahun. Tiap bulan. Tiap hari. Tiap waktu terus berbuat salah dan tak baik. Lalu dengan mudahnya minta ampun padaMu. Begitu seterusnya, dan seterusnya.
Aku malu.
Atau tak tahu malu?
...